Syair: Membenahi Sengketa Pilkada

Membenahi Sengketa Pilkada - Hallo sahabat puisi,pengertian dari syair dan contoh ragam syair,pengertian syair dan pantun pengertian puisi syair serta pengertian dan contoh syair newskikalamse, Puisi, baca lagi di Pengertian syair Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Membenahi Sengketa Pilkada, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Membenahi Sengketa Pilkada
link : Membenahi Sengketa Pilkada

Baca juga: sapiens, Pengertian syair


Membenahi Sengketa Pilkada

Damang SH MH
Owner NegaraHukum.Com

Pilkada Mamuju dan Pilkada Luwu Timur sebagai salah satu daerah yang menyelenggarakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, sudah dapat dipastikan akan ada sengketa pemilihan yang diperiksa oleh masing-masing Badan Pengawas Pemilu daerah setempat. Di Kabupaten Mamuju, dua pasangan calon Bupati dan Calon Wakil Bupati (Habsi-Irwan & Tinah-Ado), sama-sama sudah mendaftarkan permohonannya pada 24 September dan 28 September 2020 kemarin. Sedangkan di Kabupaten Luwu Timur (Irwan-Rio Patiwiri), permohonan sengketa pemilihannya terdaftar di Bawaslu pada 25 September 2020.

Lain dengan Pilbup Mamuju, Pilbup Luwu Timur, lain pula dengan Pilwali Makassar. Di Kota Makassar kali ini, tak ada lagi sengketa, seperti dahulu kala ketika Dani-Indira dihempaskan dari gelanggang pemilihan.

Tulisan singkat ini, tentu bukan untuk mengulas peluang kemenangan pasangan calon yang telah mengajukan permohonan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Tetapi akan terkonsentrasi pada koreksi Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) berikut dengan turunan regulasi lainnya, yang dalam hemat Penulis perlu pembenahan.

Rasio Waktu

Pertama-tama, tentang rasio waktu mengajukan permohonan penyelesaian sengketa pemilihan di Bawaslu. Berdasarkan Pasal 21 ayat 2 Perbawaslu No. 2/2020 menegaskan permohonan sengketa pemilihan diajukan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan dan/atau berita acara KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota ditetapkan. Untuk penggunaan termin tiga hari kerja memang tidak ada masalah, mengingat dalam Pasal 154 ayat 2 UU Pemilihan sudah demikian pemaknaan tentang batas hari yang digunakan. Begitupun dengan konsideran Putusan MK Nomor 18/PUU-XVIII/2020, sangat berdasar proses dan tahapan pemilihan (baca: sengketa) menggunakan hari kerja sebagai bentuk pengecualian.

Namun tentu berbeda atau akan menjadi perdebatan, tentang frasa “sejak” dalam pasal tersebut. Sebab dengan berdasarkan Keputusan Bawaslu RI Nomor: 0419/K.Bawaslu/PM.07.00/VII/2020 tentang Juknis Penyelesaian Sengketa Pemilihan dimaknai berbeda dari arti leksikalnya. Dalam Juknis yang telah ditetapkan Bawaslu, rasio penentuan hari pertama, bukan pada hari dikeluarkannya Keputusan KPU, tetapi pada hari berikutnya.

Ilustrasi sederhananya, 23 September merupakan hari penetapan Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, maka hari pertama terukur mengajukan permohonan sengketa jatuh tempo pada 24 September. Konsekuensi yuridisnya, karena batas waktu mengajukan permohonan sengketa menggunakan hari kerja, maka tentu waktu tiga hari sebagaimana yang dimaksud, tanggal: 24 (kamis), 25 (Jumat), 26 & 27 (Sabtu-Minggu tidak dihitung karena hari libur), 28 (Senin, hari terakhir pengajuan permohonan sengketa di Bawaslu sampai pukul 24.00 waktu setempat).

Secara yuridis, beleidsregel yang dibentuk oleh Bawaslu RI sesat penalaran. Frasa “sejak” merupakan kata yang sudah jelas maknanya, “pada saat itu,” bukan setelah itu. Termin “sejak” tidak perlu lagi ditafsirkan lebih jauh dari makna sesungguhnya, demikian postulat hukum memberi bendungan, Interpretatio Cessat In Claris, Jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali, berarti penghancuran.

Tegasnya, Juknis yang saat ini lebih ditaati oleh seluruh Bawaslu di daerah dari pada UU Pemilihan, bahkan menyimpang dari Perbawaslu yang dibuatnya sendiri, Bawaslu RI telah melakukan penafsiran bebas, sebebas-bebasnya tanpa landasan teoritis, dan diluar logika hukum (Interpretation Est Perversio).

Bawaslu RI dalam menjalankan fungsinya sebagai pembentuk UU, untuk dirinya sendiri (self regulator body), kurang pendalaman - untuk tidak mengatakan kurang pengalaman. Mengapa Bawaslu RI sebelum menetapkan Juknis tidak belajar dari Putusan MK Nomor 105/PUU-XIII/2015, tentang Putusan Pengujian Pasal 157 ayat 8 UU Pemilihan, bukankah dalam putusan tersebut mengenai batas waktu pemeriksaan sengketa hasil pemilihan, perihal termin “sejak diterimanya permohonan,” termaknai sejak dicatatnya perkara dalam buku register perkara konstitusi (BRPK). Bagaimanapun, Bawaslu RI dan Bawaslu di daerah harus kembali pada khittahnya, memahami dan melaksanakan ketentuan undang-undang secara konsisten.

Objek Sengketa

Kedua, hal yang perlu pula dipikirkan dan perlu secepatnya ditindaklanjuti, sebab ini menyangkut kepentingan peserta pemilihan. Yaitu ada dua bentuk keputusan KPU Provinsi, Kabupaten/Kota (KPU), yang menjadi pengecualian dari objek sengketa pemilihan di Bawaslu, diantaranya: keputusan KPU sebagai tindak lanjut dari penanganan pelanggaran pemilihan (rekomendasi), dan keputusan KPU sebagai tindak lanjut dari (putusan) Bawaslu atas sengketa pemilihan (Vide: Pasal 5 huruf a dan b Perbawaslu No. 2/2020).

Bayangkan saja, jika ada Pasangan Calon didiskualifikasi gegara rekomendasi atau putusan Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota. Kepadanya tidak bisa mengajukan sengketa di Bawaslu, tetapi pada saat yang sama untuk mengajukan sengketa TUN Pemilihan di PTTUN, tiketnya dia harus membawa putusan Bawaslu, dimana kala itu dia bertindak sebagai pemohon yang ditolak permohonannya oleh Bawaslu. Demikian syarat yang dilimitatifkan baik berdasarkan UU Pemilihan maupun berdasarkan Perma No. 11/2016.

Pada prinsipnya ketentuan dalam Perbawaslu a quo sudah hampir benar, tidak relevan Bawaslu mengadili perkara yang sudah diadilinya, apalagi terkesan ada konflik kepentingan (Nemo Judex Idoneus In Propria Causa). Hanya saja yang perlu dibenahi, untuk pelanggaran administrasi yang sudah tertangani oleh Bawaslu, tidak boleh lagi tertangani lagi melalui permohonan sengketa.

Kemudian, untuk putusan Bawaslu yang mengabulkan permohonan Pemohon, dimana berdampak pada pembatalan pasangan calon, sepanjang masih ada upaya hukum oleh Termohon (KPU), termasuk atau apalagi pihak terkait (Paslon yang dibatalkan berdasarkan putusan Bawaslu). Kepada mereka saat masih menggunakan upaya hukum tersebut, putusan Bawaslu tidak boleh dieksekusi atau ditindaklanjuti dahulu oleh KPU. Demikian fungsi KPU bersama Bawaslu, menjaga pemilihan yang jujur serta berkeadilan (Dmg).*


Demikianlah Artikel Membenahi Sengketa Pilkada

Sekianlah artikel Membenahi Sengketa Pilkada kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Membenahi Sengketa Pilkada dengan alamat link Sapiens
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url